Jumat, 14 September 2012

KRISIS AIR

Air, suatu barang cair yang punya rumus kimia H2O tidak berwarna, berbau, memiliki fungsi vital sebagai pengisi sel dan juga bebas di alam yang keberadaannya melimpah, namun ternyata tetap susah. Susah mendapatkannya, terutama di daerah yang beriklim kering, tempat yang mengalami musim kemarau, bahkan di tempat yang melimpah airpun, air juga susah didapatkan. Hloh..., kok? Jelas saja. Walaupun suatu tempat kelebihan air, belum tentu air bisa dimanfaatkan, contohnya saja air laut, air bah, gak bisa kan?heheheh,. Di daerah pasang surut, tanah sulfat masam maupun daerah gambut, air juga susah untuk digunakan. terutama untuk kebutuhan sehari-hari.

Air di dunia ini memiliki karakteristik yang unik. Berbeda lokasi, keunikan ini semakin beragam. Mulai dari warna, rasa dan bau. Kandungan air di berbagai lokasi juga berbeda. seperti yang kita ketahui, air yang baik untuk konsumsi merupakan air yang tidak berwarna, berbau dan berasa, namun mengandung berbagai macam zat yang dibutuhkan tubuh. Kandungan air itupun tidak berlebih pula.

Air di daerah yang berkapur, berbeda dengan air yang ada di daerah pantai, pasir, gambut dan sebagainya. Ketika saya masih kecil, saya kan tinggal di daerah yang berkapur, tepatnya sieh di perbukitan kapur utara alias perbukitan Kendeng di daerah Sragen utara. Waktu musim kemarau, kami (masyarakat di sana-red) biasanya pergi ke mata air di pinggiran desa di bawah kaki gunung (bukit tepatnya). Air di sana sangat segar, berbeda dengan air sumur atau ledeng, terlebih air pam, sangat berbeda. Dingin, segar.

Berpindah dari tempat itu, (turun gunung), saya (ciee) tinggal di rumah simbah, lokasinya sieh 300 m dari bengawan solo. Untung pas banjir bandang 2007, rumah saya gak kerendam, biarpun rumah saya sudah terkepung air (curcol dikit..). Pertama kali saya bermukim, rasa airnya beda, agak licin, g keset, kapurnya masih banyak, biar gak sebanyak di lokasi pertama saya tinggal. kalau mandi, licin, dirasain, anyir. hweksss,.
Berpindah ke lokasi lainnya, kali ini bukan pindah rumah, tapi main ketempat saudara, kondisi airnya juga sama, lebih licin. rasanya juga beda. Waktu saya harus kos di Solo sekarang ini, airnya juga licin, gak keset.

Yang lebih aneh ketika saya praktek lapang di daerah Purworejo waktu itu, lupa saya daerahnya. Di sana, airnya berwarna kebiruan, baunya anyir, rasanya apalagi. gak enak. menurut penuturan yang empunya rumah, emang air di situ mengandung besi dan sebearnya tidak layak konsumsi, tapi katanya mau apalagi? sudah terbiasa katanya. Wuooo.
Mendapati air yang tidak layak juga masih ada, ketika saya mendapat kesempatan mengikuti Latsitarda Nusantara XXXII di Propinsi Riau 2011. Waktu itu, saya dari 4 orang anak asal UNS yang harus menelan ludah karena ketinggalan kapal, ehhhh, malah dapet pesawat selama seharian kami tinggal di mako menwa UIN Sultan Syarif Khasyim (suska) Riau. Tidak terduga memang, ternyata kawasan itu merupakan kawasan gambut, kayaknya sieh gambut pedalaman gitu. Warna airnya gelap, kayak kopi, baunyaaa...., kayak air rendaman cucian seminggu, Bau. Rasanya apalagi. Hwekssss. ngeri. Berpindah ke lokasi lain Di Siak Sri Indrapura (cieee) airnya berubah cui. ada yang air teh, ada yang air kencing. tai warnanya aja sieh.

Air di sana, terutama di daerah gambut dan sulfat masam merupakan air yang susah sekali. kalau mau menggunakan untuk mandi saja, harus diendapkan minimal 1 malam. Berbagai cara dilakukan untuk menjernihkan air dan memompa air bersih. tapi banyak gagalnya ternyata. bukan saja karena air gambut itu, ada hal lain, seperti kalau misalnya ngebor sumurnya terlalu dalam. Bukannya air bersih yang didapat, tapi malah air campur minyak, terlalu dangkal airnya air gambut. pipa-pipa air juga bermasalah, tersumbat semacam lumut (tapi sebenarnya ganggang kali ya?), jadinya harus rutin membersihkan saluran air. Perlu banyak tenaga dan biaya dung berarti? IYA. Makanya, berbagai penyuluhan tentang air di sana banyak mandegnya, terutama karena masalah itu. Susah.

lain tempat, lain juga permasalahan air, biarpun permasalahannya tetap sama. Di daerah merapi selanjutnya. Ketika saya dan tim saya berada di Klaten, tepatnya di Sidorejo dan Balerante, saya menemukan bahwa ternyata penduduk di sana itu membeli air dari tempat lain. Ngeri Bok. Gak tanggung-tanggung belinya, 3 tangki gedhe, itupun buat satu rumah. Permasalahan krisis air di dua lokasi ini semakin parah erutama setelah erupsi merapi tahun 2010 lalu. selain menyebabkan mata air kering, adanya material pasir dan batu juga menyebabkan sungai tertutup dan air tidak mengalir.

Banyak sekali sebenarnya cerita tentang krisis air yang saya alami. mulai dari kekurangan, kelebihan pun saya pernah mengalami. tapi yang jelas ternyata saya tinggal di sekitar aliran bengawan solo, yang ternyata populasi E. coli nya luar binasa. 300 ppm. Bayangpun, bila tiba-tiba kena diare, atau penyakit gatal, airnya saja tercemar. bukan cuma air bengawan yang tercemar, tapi sepanjang aliran bengawan solo juga ikut tercemar.

Mengenaskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar