SISTEM PENGKASTAAN
"Benarkah Kasta Sudah Hilang/Terhapuskan?"
Kasta merupakan perkumpulan tukang-tukang, atau orang-orang ahli dalam bidang tertentu yang pembagian manusia dalam masyarakat terdiri dari:
- Kasta Brahmana, para pekerja di bidang spiritual ; sulinggih, pandita dan rohaniawan.
- Kasta Ksatria, para kepala dan anggota lembaga pemerintahan.
- Kasta Waisya, para pekerja di bidang ekonomi
- Kasta Sudra, para pekerja yang mempunyai tugas melayani/membantu ketiga Kasta di atas.
Sedangkan di luar sistem Catur Warna tersebut, ada pula istilah :
- Kaum Paria, Golongan orang terbuang yang dianggap hina karena telah melakukan suatu kesalahan besar
- Kaum Candala, Golongan orang yang berasal dari Perkawinan Antar Kasta
Sistem ini merupakan bentuk pelapisan sosial yang paling kaku dan mempunyai garis batas yang paling jelas, bahkan sering juga disebut sebagai bentuk yang ekstrem dari sistem kelas tertutup. Seseorang yang dilahirkan dari suatu kasta otomatis masuk ke dalam kasta orang tuanya dan tidak dapat mengingkarinya. Akan tetapi, apabila seseorang melanggar pantangan dan norma dari kastanya, ia akan diasingkan dan dikucilkan dari masyarakatnya. Dalam sistem kasta kualitas seseorang tidak diperhitungkan dalam menentukan kastanya, melainkan ditentukan oleh faktor keturunan.
Sistem Kasta sudah lama tidak terdengar di bumi pertiwi. Sistem ini adalah sistem pada masa kerajaan Hindu-Budha seperti yang pernah dituliskan dalam buku-buku sejarah. Pertanyaan yang muncul di benak saya, Benarkah sistem kasta sudah terhapus dari bumi Indonesia? Memang sekarang kita tidak menjumpai kasta. namun kalau dilihat lebih mendalam/teliti, sistem kasta tetap saja ada di masyarakat ini., hanya saja namanya berubah menjadi kelas sosial dan kelas ekonomi.
Walaupun saat ini yang paling menonjol ditentukan oleh kondisi sosial dan ekonomi, kelas sosial tetap tak memiliki batasan jelas yang membedakan kelas satu dengan lainnya. Masing-masing menggunakan batasan lunak. Dalam hal konsumerisme, misalnya, kelas bawah dikatakan irasional saat berbelanja, cenderung berorientasi jangka pendek tanpa bisa berpikir untuk jangka panjang.
Kelas menengah akan memilih produk yang memang mencitrakan kelas, yang banyak menjadi rujukan di kalangan mereka. Selain itu, mereka juga sangat mungkin melirik produk-produk masyarakat kelas atas, tapi membeli yang sesuai dengan daya beli mereka. Sementara kelas atas sendiri mayoritas memilih produk dengan sangat selektif dan biasanya bermerek global, mencitrakan kelas mereka. Itu yang umum terjadi, tapi nggak jarang juga masyarakat kelas menengah irasional saat berbelanja, atau kelas atas membeli barang buatan lokal yang banyak dijual bebas dan murah. Ini yang disebut sebagai batas lunak, tak ada patokan yang pasti.
Realitasnya, kelas sosial jadi patokan orang bersikap. Yang kaya yang punya segalanya, sedangkan yang miskin makin dipersulit dengan birokrasi maupun bonus sikap sinis dari banyak pihak. Kelas sosial pun jadi tolok ukur bagaimana seseorang diperlakukan. Timbul kesenjangan di tiap kelas yang akhirnya menumbuhkan stereotipe tertentu, seperti orang miskin akan selamanya ada di bawah, atau orang kaya seumur hidup berhak hidup makmur dalam kemewahan. Diskriminatif.
di luar sisi negatif itu, lewat pembagian kelas tersirat inilah berbagai persoalan, mulai dari politik sampai yang berhubungan dengan perekonomian, dapat dianalisis. Ibarat menilik pasar, subjek dan objek dalam perpolitikan maupun perekonomian adalah masyarakat, karena itulah untuk menyasar secara tepat, siapa pun harus tahu kelas terbesar yang mendominasi beserta karakteristiknya untuk menentukan strategi kampanye maupun marketing.
Mungkinkah jurang pemisah itu ditiadakan, mengingat banyak hal yang solusinya diperoleh dari pemisahan kelas dalam masyarakat? Tidak. Selama masih ada masyarakat, kelas sosial senantiasa hidup di dalamnya dan jadi label penanda. Seseorang dinilai bukan dari perbuatan atau prestasinya semata, tapi juga di posisi ekonomi mana dia berada, itulah “hukum alam” yang harus dihadapi saat ini.
masalah kelas sosial dan ekonomi, akhirnya berimbas kearah dunia pendidikan. orang yang memiliki kelas sosial dan ekonomi tinggilah yang dapat mengenyam dan menikmati pendidikan tinggi. tidak banyak kelas sosial dan ekonomi rendah yang dapat menikmatinya. bukan salah kelas sosial menurut saya, tapi karena biaya hidup dan harga-harga yang mahal di negeri ini, menyebabkan masyarakat kelas kecil tidak dapat menikmati fasilitas pendidikan itu. sungguh ironis, ketika sebelumnya negara kita merupakan negara yang notabene merupakan negara makmur dijaman dulu, (Majapahit - Sriwijaya), dimana pendidikan dan karya-karya sastra bernilai dihasilkan, sekarang sudah jauh berbeda. orang-orang yang sebenarnya pintar, seorang intelek, namun karena ekonominya membuatnya tidak bisa mengenyam pendidikan yang layak, yah..., berakhirlah dia sebagai orang-orang biasa saja, namun dengan pemikiran yang tetap luar biasa.
Sumber:
http://wikipedia.com
dan dari banyak sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar